Senin, 02 November 2015

Fatwa MUI Tentang Donor ASI

FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 28 Tahun 2013
Tentang
SEPUTAR MASALAH DONOR AIR SUSU IBU (ISTIRDLA’)
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG : a. bahwa di tengah masyarakat ada aktifitas berbagi air susu ibu untuk kepentingan pemenuhan gizi anak-anak yang tidak berkesempatan memperoleh air susu ibunya sendiri, baik disebabkan oleh kekurangan suplai ASI ibu kandungnya, ibunya telah tiada, tidak diketahui ibu kandungnya, maupun sebab lain yang tidak memungkinkan akses ASI bagi anak;
b. bahwa untuk kepentingan pemenuhan ASI bagi anak-anak tersebut, muncul inisiasi dari masyarakat untuk mengoordinasikan gerakan Berbagai Air Susu Ibu serta Donor ASI;
c. bahwa di tengah masyarakat muncul pertanyaan mengenai ketentuan agama mengenai masalah tersebut di atas serta hal-hal lain yang terkait dengan masalah keagamaan sebagai akibat dari aktifitas tersebut;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang seputar masalah donor air susu ibu (istirdla’) guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT:
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS Al-Baqarah: 233).
وأمهاتكم التي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu (Surah Ali Imran 23).
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِ وَالتَقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَقُواْ اللّهَ إِنَ اللّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah [5] :2)
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم
وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 2
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah : 8).
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
لا رضاع إلا ما أنشز العظم وأنبت اللحم
Tidak dianggap sebagai persusuan kecuali persusuan yang dilakukan pada masa pembentukan tulang dan pertumbuhan daging. (HR Abu Daud, Kitab Nikah, Bab Radhaa’atu Al-Kabiir).
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al-Ansaab ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min Al-Radhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah).
إنما الرضاعة من المجاعة
Sesungguhnya persusuan (yang menimbulkanm hukum radla’) hanyalah di masa anak membutuhkan ASI sebagai makanan pokok (HR Bukhari, Kitab Al-Syahaadah Bab Al-Syahaadah ala Al-Ansaab dan Kitab Al-Nikaah Bab Man Qolaa La Radhaa’a Ba’da Hawlaini ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Innamaa Al-Radhaa’ min Al-Majaa’ah).
لا رضاع إلا ما كان في الحولين
Tidak berlaku hukum persusuan setelah anak mencapai usia dua tahun (HR Al-Daaruquthni, Kitab Al-Radhaa’ah).
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات
معلومات يحرمن، ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي النبي عليه الصلاة والسلام
وهن فيما يقرأ من القرآن )رواه مسلم(
Dari Aisyah ra ia berkata: Dahulu, dalam apa yang diturunkan dari al-Quran (mengatur bahwa) sebanyak sepuluh kali susuan yang diketahui yang menyebabkan keharaman, kemudian dinasakh (dihapus dan diganti) dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian Nabi saw wafat dan itulah yang terbaca di dalam al-Quran” (HR. Muslim)
أن النبي عليه الصلاة والسلام نهى أن تسترضع الحمقاء )رواه أبو داود مرسلاً(
Bahwasayang Rasulullah saw melarang untuk meminta menyusui kepada orang yang idiot (HR Abu Dawud hadis mursal)
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 3
3. Atsar Shahabat. Sahabat Umar bin Khattab menyatakan :
اللبن يشبه ، فلا تسق من يهودية ولا نصرانية ولا زانية
ASI itu dapat berdampak kepada prilaku (anak), maka janganlah kalian menyusukan (anak-anak kalian) dari wanita Yahudi, Nashrani dan para pezina. (Al-Sunan Al-Kubra : 7/464).
4. Qaidah fiqhiyyah
لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
الأصل في الأبضاع التحريم
Hukum asal melakukan hubungan seks (antara pria dan wanita) adalah adalah haram.
تَصَرُفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“ Tindakan pemimpin [ pemegang otoritas ] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan “
MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Kitab Fathul Muin (Bab Nikah hal 101) yang menjelaskan tentang wanita mahram yang tidak teridentifikasi :
)فرع( لو اختلطت محرمة بنسوة غير محصورات بأن يعسر عدهن على
الآحاد كألف امرأة نكح من شاء منهن إلى أن تبقى واحدة على الأرجح .
Andaikata ada wanita mahram tercampur pada sejumlah wanita yang sulit dihitung (didata satu persatu), misalnya jumlah mereka ada seribu orang (di antara seribu tadi terdapat wanita mahram – yang sulit untuk dikenali – bagi lelaki yang akan menikah), maka ia boleh menikahi siapapun di antara mereka yang disukainya, hingga jumlah mereka tinggal satu orang, pendapat ini adalah yang terkuat.
وإن قدر ولو بسهولة على متيقنة الحل أو بمحصورات كعشرين بل مائة لم ينكح
منهن شيئا .
Tetapi jika ia (lelaki yang bersangkutan) mampu untuk menghitungnya guna mengetahui secara yakin wanita mana saja yang halal dinikahinya, atau wanita mahram tersebut bercampur dengan sejumlah wanita yang terbatas bilangannya, misalnya dua puluh bahkan sampai seratus orang wanita, maka ia tidak boleh menikahi seorangpun dari mereka (sebelum dia menyeleksi mana yang mahram dan mana yang bukan mahram).
نعم إن قطع بتميزها كسوداء احتلطت بمن لاسواد فيهن لم يحرم غيرها .
Memang diperbolehkan ia menikahi di antara wanita-wanita tersebut, jika secara pasti ia dapat membedakannya, misalnya wanita mahramnya berkulit hitam. Tetapi berada di antara penduduk yang berkulit tidak hitam, maka tidak haram baginya untuk menikahi wanita selain yang berkulit hitam tersebut.
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 4
2. Pendapat Al-Syiirazi dalam Kitab Al-Muhadzzab (4/587) :
ويثبت التحريم بالوجور لأنه يصل اللبن إلى حيث يصل بالارتضاع ، ويحصل به
من إنبات اللحم وانتشار العظم ما يحصل بالرضاع .و يثبت بالسعوط لأنه سبيل
لفطر الصائم ، فكان سبيلا لتحريم الرضاع كالفم .
Berlakunya hukum mahram (karena persusuan) dapat melalui proses al-wajur – memasukkan air susu ke tenggorokan tanpa proses menyusui langsung – karena proses tersebut menyebabkan masuknya ASI kepada bayi seperti proses pemberian ASI secara langsung. Masuknya ASI tersebut – dengan proses al-wajur – juga berperan dalam pertumbuhan daging dan tulang seperti proses pemberian ASI langsung. Hukum mahram (karena persusuan) juga berlaku melalui proses al-sa’uuth – memasukkan ASI melalui hidung, karena hal itu dapat membatalkan puasa, maka dapat dianalogikan sama seperti masuknya ASI melalui mulut.
3. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni (11/313) :
ولأن هذا يصل إلى به اللبن إلى حيث يصل بالارتضاع ، ويحصل به من إنبات
اللحم وانتشار العظم ما يحصل بالارتضاع ، فيجب أن يساويه في التحريم ،
والأنف سبيل لفطر الصائم ، فكان سبيلا للتحريم كالرضاع كالفم .
Hal seperti ini – memasukkan ASI tanpa proses langsung – menyebabkan ASI masuk ke dalam perut bayi, tidak berbeda dengan proses pemberian ASI secara langsung dalam menumbuhkembangkan daging dan tulang, sehingga hukum keduanya – pemberian ASI secara langsung atau tidak langsung – adalah sama yaitu, berlakunya hukum mahram (karena persusuan).
4. Pendapat sebagian ulama seperti disebutkan dalam Kitab Al-Mughni (6/363)
وذهب جماعة من أصحابنا إلى تحريم بيعه ، وهو مذهب أبي حنيفة ومالك ، لأنه
مائع خارج من آدمية فلم يجز بيعه
كالعرق ، ولأنه من آدمي فأشبه سائر أجزائه .
Sebagian sahabat kami (ulama madzhab Hambali) berpendapat bahwa memperjualbelikan ASI adalah haram hukumnya. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah dan Malik. Alasan keharamannya karena ASI adalah benda cair yang keluar dari seorang wanita maka tidak boleh diperjualbelikan seperti keringat. Alasan lainnya, ASI adalah bagian dari manusia (yang tidak boleh diperjualbelikan).
5. Pendapat Muhammad Ibnu Al-Hasan dalam Kitab Al-Mabshuth (15/ ) :
استحقاق لبن الآدمية بعقد الإجارة دليل على أنه لا يجوز بيعه ، وجواز بيع لبن
الأنعام دليل على أنه لا يجوز استحقاقه بعقد الإجارة
Hak untuk memperoleh upah dari ASI karena sebab akad Ijarah menjadi dalil tidak diperbolehkannya melakukan jual beli ASI, sebagaimana kebolehan memperjualbelikan susu binatang menjadi dalil tidak diperbolehkannya
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 5
melakukan akad Ijarah untuk memperoleh susu dari binatang tersebut.
6. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa yang terakhir pada tanggal 13 Juli 2013.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG MASALAH-MASALAH TERKAIT DENGAN BERBAGI AIR SUSU IBU (ISTIRDLA’)
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i.
2. Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental.
b. Ibu tidak sedang hamil
3. Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ketentuan angka 1 menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan).
4. Mahram akibat persusuan sebagaimana pada angka 2 dibagi menjadi depan kelompok sebagai berikut :
a. Ushulu Al-Syakhsi (pangkal atau induk keturunan seseorang), yaitu : Ibu susuan (donor ASI) dan Ibu dari Ibu susuan tersebut terus ke atas (nenek, buyut dst).
b. Al-Furuu’ Min Al-Radhaa’ (keturunan dari anak susuan), yaitu : Anak susuan itu sendiri, kemudian anak dari anak susuan tersebut terus ke bawah (cucu, cicit dst).
c. Furuu’ Al-Abawaini min Al-Radhaa’ (keturunan dari orang tua susuan), yaitu : Anak-anak dari ibu susuan, kemudian anak-anak dari anak-anak ibu susuan tersebut terus ke bawah (cucu dan cicit).
d. Al-Furuu’ Al-Mubaasyirah Min Al-Jaddi wa Al-Jaddati min Al-Radhaa’ (keturunan dari kakek dan nenek sesusuan), yaitu : Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari suami ibu donor ASI dan Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari ibu donor ASI. Adapun anak-anak mereka tidaklah menjadi mahram sebagaimana anak paman/bibi dari garis keturunan.
e. Ummu Al-Zawjah wa Jaddaatiha min Al-Radhaa’ (ibu sesusuan dari Istri dan nenek moyangnya), yaitu : Ibu susuan (pendonor ASI) dari istri, kemudian ibu dari ibu susuan istri sampai ke atas (nenek moyang).
f. Zawjatu Al-Abi wa Al-Jaddi min Al-Radhaa’ (istri dari bapak sesusuan dan kakek moyangnya), yaitu : Istri dari suami ibu pendonor ASI (istri kedua, ketiga atau keempat dari suami ibu pendonor ASI), kemudian istri dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke atas (istri
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 6
kedua, ketiga atau keempat dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke kakek moyangnya).
g. Zawjatu Al-Ibni wa Ibni Al-Ibni wa Ibni Al-Binti min Al-Radhaa’ (istri dari anak sesusuan dan istri dari cucu sesusuan serta anak laki dari anak perempuan sesusuan), yaitu : Istri dari anak sesusuan kemudian istri dari cucu sesusuan (istri dari anaknya anak sesusuan) dan seterusnya sampai ke bawah (cicit dst). Demikian pula istri dari anak laki dari anak perempuan sesusuan dan seterusnya sampai ke bawah (cucu, cicit dst).
h. Bintu Al-Zawjah min Al-Radhaa’ wa Banaatu Awlaadihaa (anak perempuan sesusuan dari istri dan cucu perempuan dari anak lakinya anak perempuan sesusuan dari Istri), yaitu : anak perempuan susuan dari istri (apabila istri memberi donor ASI kepada seorang anak perempuan, maka apabila suami dari istri tersebut telah melakukan hubungan suami istri -senggama- maka anak perempuan susuan istri tersebut menjadi mahram, tetapi bila suami tersebut belum melakukan senggama maka anak perempuan susuan istrinya tidak menjadi mahram). Demikian pula anak perempuan dari anak laki-lakinya anak perempuan susuan istri tersebut sampai ke bawah (cicit dst).
5. Terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan) jika :
a. usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun qamariyah.
b. Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas.
c. Jumlah ASI yang dikonsumsi sebanyak minimal lima kali persusuan.
d. Cara penyusuannya dilakukan baik secara langsung ke puting susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan.
e. ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan.
6. Pemberian ASI yang menjadikan berlakunya hukum persusuan adalah masuknya ASI tersebut ke dalam perut seorang anak dalam usia antara 0 sampai 2 tahun dengan cara penyusuan langsung atau melalui perahan.
7. Seorang muslimah boleh memberikan ASI kepada bayi non muslim, karena pemberian ASI bagi bayi yang membutuhkan ASI tersebut adalah bagian dari kebaikan antar umat manusia.
8. Boleh memberikan dan menerima imbalan jasa dalam pelaksanaan donor ASI, dengan catatan; (i) tidak untuk komersialisasi atau diperjualbelikan; dan (ii) ujrah (upah) diperoleh sebagai jasa pengasuhan anak, bukan sebagai bentuk jual beli ASI.
Kedua : Rekomendasi
1. Kementerian Kesehatan diminta untuk mengenluarkan aturan mengenai Donor ASI dengan berpedoman pada fatwa ini.
2. Pelaku, aktifis dan relawan yang bergerak di bidang donor ASI serta komunitas yang peduli pada upaya berbagi ASI agar dalam
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 7
menjalankan aktifitasnya senantiasa menjaga ketentuan agama dan berpedoman pada fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 4 Ramadhan 1434 H
13 J u l i 2013M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar