Senin, 02 November 2015

Fatwa MUI Tentang Donor ASI

FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 28 Tahun 2013
Tentang
SEPUTAR MASALAH DONOR AIR SUSU IBU (ISTIRDLA’)
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG : a. bahwa di tengah masyarakat ada aktifitas berbagi air susu ibu untuk kepentingan pemenuhan gizi anak-anak yang tidak berkesempatan memperoleh air susu ibunya sendiri, baik disebabkan oleh kekurangan suplai ASI ibu kandungnya, ibunya telah tiada, tidak diketahui ibu kandungnya, maupun sebab lain yang tidak memungkinkan akses ASI bagi anak;
b. bahwa untuk kepentingan pemenuhan ASI bagi anak-anak tersebut, muncul inisiasi dari masyarakat untuk mengoordinasikan gerakan Berbagai Air Susu Ibu serta Donor ASI;
c. bahwa di tengah masyarakat muncul pertanyaan mengenai ketentuan agama mengenai masalah tersebut di atas serta hal-hal lain yang terkait dengan masalah keagamaan sebagai akibat dari aktifitas tersebut;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang seputar masalah donor air susu ibu (istirdla’) guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT:
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS Al-Baqarah: 233).
وأمهاتكم التي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu (Surah Ali Imran 23).
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِ وَالتَقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَقُواْ اللّهَ إِنَ اللّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah [5] :2)
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم
وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 2
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah : 8).
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
لا رضاع إلا ما أنشز العظم وأنبت اللحم
Tidak dianggap sebagai persusuan kecuali persusuan yang dilakukan pada masa pembentukan tulang dan pertumbuhan daging. (HR Abu Daud, Kitab Nikah, Bab Radhaa’atu Al-Kabiir).
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al-Ansaab ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min Al-Radhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah).
إنما الرضاعة من المجاعة
Sesungguhnya persusuan (yang menimbulkanm hukum radla’) hanyalah di masa anak membutuhkan ASI sebagai makanan pokok (HR Bukhari, Kitab Al-Syahaadah Bab Al-Syahaadah ala Al-Ansaab dan Kitab Al-Nikaah Bab Man Qolaa La Radhaa’a Ba’da Hawlaini ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Innamaa Al-Radhaa’ min Al-Majaa’ah).
لا رضاع إلا ما كان في الحولين
Tidak berlaku hukum persusuan setelah anak mencapai usia dua tahun (HR Al-Daaruquthni, Kitab Al-Radhaa’ah).
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات
معلومات يحرمن، ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي النبي عليه الصلاة والسلام
وهن فيما يقرأ من القرآن )رواه مسلم(
Dari Aisyah ra ia berkata: Dahulu, dalam apa yang diturunkan dari al-Quran (mengatur bahwa) sebanyak sepuluh kali susuan yang diketahui yang menyebabkan keharaman, kemudian dinasakh (dihapus dan diganti) dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian Nabi saw wafat dan itulah yang terbaca di dalam al-Quran” (HR. Muslim)
أن النبي عليه الصلاة والسلام نهى أن تسترضع الحمقاء )رواه أبو داود مرسلاً(
Bahwasayang Rasulullah saw melarang untuk meminta menyusui kepada orang yang idiot (HR Abu Dawud hadis mursal)
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 3
3. Atsar Shahabat. Sahabat Umar bin Khattab menyatakan :
اللبن يشبه ، فلا تسق من يهودية ولا نصرانية ولا زانية
ASI itu dapat berdampak kepada prilaku (anak), maka janganlah kalian menyusukan (anak-anak kalian) dari wanita Yahudi, Nashrani dan para pezina. (Al-Sunan Al-Kubra : 7/464).
4. Qaidah fiqhiyyah
لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
الأصل في الأبضاع التحريم
Hukum asal melakukan hubungan seks (antara pria dan wanita) adalah adalah haram.
تَصَرُفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“ Tindakan pemimpin [ pemegang otoritas ] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan “
MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Kitab Fathul Muin (Bab Nikah hal 101) yang menjelaskan tentang wanita mahram yang tidak teridentifikasi :
)فرع( لو اختلطت محرمة بنسوة غير محصورات بأن يعسر عدهن على
الآحاد كألف امرأة نكح من شاء منهن إلى أن تبقى واحدة على الأرجح .
Andaikata ada wanita mahram tercampur pada sejumlah wanita yang sulit dihitung (didata satu persatu), misalnya jumlah mereka ada seribu orang (di antara seribu tadi terdapat wanita mahram – yang sulit untuk dikenali – bagi lelaki yang akan menikah), maka ia boleh menikahi siapapun di antara mereka yang disukainya, hingga jumlah mereka tinggal satu orang, pendapat ini adalah yang terkuat.
وإن قدر ولو بسهولة على متيقنة الحل أو بمحصورات كعشرين بل مائة لم ينكح
منهن شيئا .
Tetapi jika ia (lelaki yang bersangkutan) mampu untuk menghitungnya guna mengetahui secara yakin wanita mana saja yang halal dinikahinya, atau wanita mahram tersebut bercampur dengan sejumlah wanita yang terbatas bilangannya, misalnya dua puluh bahkan sampai seratus orang wanita, maka ia tidak boleh menikahi seorangpun dari mereka (sebelum dia menyeleksi mana yang mahram dan mana yang bukan mahram).
نعم إن قطع بتميزها كسوداء احتلطت بمن لاسواد فيهن لم يحرم غيرها .
Memang diperbolehkan ia menikahi di antara wanita-wanita tersebut, jika secara pasti ia dapat membedakannya, misalnya wanita mahramnya berkulit hitam. Tetapi berada di antara penduduk yang berkulit tidak hitam, maka tidak haram baginya untuk menikahi wanita selain yang berkulit hitam tersebut.
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 4
2. Pendapat Al-Syiirazi dalam Kitab Al-Muhadzzab (4/587) :
ويثبت التحريم بالوجور لأنه يصل اللبن إلى حيث يصل بالارتضاع ، ويحصل به
من إنبات اللحم وانتشار العظم ما يحصل بالرضاع .و يثبت بالسعوط لأنه سبيل
لفطر الصائم ، فكان سبيلا لتحريم الرضاع كالفم .
Berlakunya hukum mahram (karena persusuan) dapat melalui proses al-wajur – memasukkan air susu ke tenggorokan tanpa proses menyusui langsung – karena proses tersebut menyebabkan masuknya ASI kepada bayi seperti proses pemberian ASI secara langsung. Masuknya ASI tersebut – dengan proses al-wajur – juga berperan dalam pertumbuhan daging dan tulang seperti proses pemberian ASI langsung. Hukum mahram (karena persusuan) juga berlaku melalui proses al-sa’uuth – memasukkan ASI melalui hidung, karena hal itu dapat membatalkan puasa, maka dapat dianalogikan sama seperti masuknya ASI melalui mulut.
3. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni (11/313) :
ولأن هذا يصل إلى به اللبن إلى حيث يصل بالارتضاع ، ويحصل به من إنبات
اللحم وانتشار العظم ما يحصل بالارتضاع ، فيجب أن يساويه في التحريم ،
والأنف سبيل لفطر الصائم ، فكان سبيلا للتحريم كالرضاع كالفم .
Hal seperti ini – memasukkan ASI tanpa proses langsung – menyebabkan ASI masuk ke dalam perut bayi, tidak berbeda dengan proses pemberian ASI secara langsung dalam menumbuhkembangkan daging dan tulang, sehingga hukum keduanya – pemberian ASI secara langsung atau tidak langsung – adalah sama yaitu, berlakunya hukum mahram (karena persusuan).
4. Pendapat sebagian ulama seperti disebutkan dalam Kitab Al-Mughni (6/363)
وذهب جماعة من أصحابنا إلى تحريم بيعه ، وهو مذهب أبي حنيفة ومالك ، لأنه
مائع خارج من آدمية فلم يجز بيعه
كالعرق ، ولأنه من آدمي فأشبه سائر أجزائه .
Sebagian sahabat kami (ulama madzhab Hambali) berpendapat bahwa memperjualbelikan ASI adalah haram hukumnya. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah dan Malik. Alasan keharamannya karena ASI adalah benda cair yang keluar dari seorang wanita maka tidak boleh diperjualbelikan seperti keringat. Alasan lainnya, ASI adalah bagian dari manusia (yang tidak boleh diperjualbelikan).
5. Pendapat Muhammad Ibnu Al-Hasan dalam Kitab Al-Mabshuth (15/ ) :
استحقاق لبن الآدمية بعقد الإجارة دليل على أنه لا يجوز بيعه ، وجواز بيع لبن
الأنعام دليل على أنه لا يجوز استحقاقه بعقد الإجارة
Hak untuk memperoleh upah dari ASI karena sebab akad Ijarah menjadi dalil tidak diperbolehkannya melakukan jual beli ASI, sebagaimana kebolehan memperjualbelikan susu binatang menjadi dalil tidak diperbolehkannya
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 5
melakukan akad Ijarah untuk memperoleh susu dari binatang tersebut.
6. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa yang terakhir pada tanggal 13 Juli 2013.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG MASALAH-MASALAH TERKAIT DENGAN BERBAGI AIR SUSU IBU (ISTIRDLA’)
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i.
2. Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental.
b. Ibu tidak sedang hamil
3. Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ketentuan angka 1 menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan).
4. Mahram akibat persusuan sebagaimana pada angka 2 dibagi menjadi depan kelompok sebagai berikut :
a. Ushulu Al-Syakhsi (pangkal atau induk keturunan seseorang), yaitu : Ibu susuan (donor ASI) dan Ibu dari Ibu susuan tersebut terus ke atas (nenek, buyut dst).
b. Al-Furuu’ Min Al-Radhaa’ (keturunan dari anak susuan), yaitu : Anak susuan itu sendiri, kemudian anak dari anak susuan tersebut terus ke bawah (cucu, cicit dst).
c. Furuu’ Al-Abawaini min Al-Radhaa’ (keturunan dari orang tua susuan), yaitu : Anak-anak dari ibu susuan, kemudian anak-anak dari anak-anak ibu susuan tersebut terus ke bawah (cucu dan cicit).
d. Al-Furuu’ Al-Mubaasyirah Min Al-Jaddi wa Al-Jaddati min Al-Radhaa’ (keturunan dari kakek dan nenek sesusuan), yaitu : Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari suami ibu donor ASI dan Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari ibu donor ASI. Adapun anak-anak mereka tidaklah menjadi mahram sebagaimana anak paman/bibi dari garis keturunan.
e. Ummu Al-Zawjah wa Jaddaatiha min Al-Radhaa’ (ibu sesusuan dari Istri dan nenek moyangnya), yaitu : Ibu susuan (pendonor ASI) dari istri, kemudian ibu dari ibu susuan istri sampai ke atas (nenek moyang).
f. Zawjatu Al-Abi wa Al-Jaddi min Al-Radhaa’ (istri dari bapak sesusuan dan kakek moyangnya), yaitu : Istri dari suami ibu pendonor ASI (istri kedua, ketiga atau keempat dari suami ibu pendonor ASI), kemudian istri dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke atas (istri
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 6
kedua, ketiga atau keempat dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke kakek moyangnya).
g. Zawjatu Al-Ibni wa Ibni Al-Ibni wa Ibni Al-Binti min Al-Radhaa’ (istri dari anak sesusuan dan istri dari cucu sesusuan serta anak laki dari anak perempuan sesusuan), yaitu : Istri dari anak sesusuan kemudian istri dari cucu sesusuan (istri dari anaknya anak sesusuan) dan seterusnya sampai ke bawah (cicit dst). Demikian pula istri dari anak laki dari anak perempuan sesusuan dan seterusnya sampai ke bawah (cucu, cicit dst).
h. Bintu Al-Zawjah min Al-Radhaa’ wa Banaatu Awlaadihaa (anak perempuan sesusuan dari istri dan cucu perempuan dari anak lakinya anak perempuan sesusuan dari Istri), yaitu : anak perempuan susuan dari istri (apabila istri memberi donor ASI kepada seorang anak perempuan, maka apabila suami dari istri tersebut telah melakukan hubungan suami istri -senggama- maka anak perempuan susuan istri tersebut menjadi mahram, tetapi bila suami tersebut belum melakukan senggama maka anak perempuan susuan istrinya tidak menjadi mahram). Demikian pula anak perempuan dari anak laki-lakinya anak perempuan susuan istri tersebut sampai ke bawah (cicit dst).
5. Terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan) jika :
a. usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun qamariyah.
b. Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas.
c. Jumlah ASI yang dikonsumsi sebanyak minimal lima kali persusuan.
d. Cara penyusuannya dilakukan baik secara langsung ke puting susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan.
e. ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan.
6. Pemberian ASI yang menjadikan berlakunya hukum persusuan adalah masuknya ASI tersebut ke dalam perut seorang anak dalam usia antara 0 sampai 2 tahun dengan cara penyusuan langsung atau melalui perahan.
7. Seorang muslimah boleh memberikan ASI kepada bayi non muslim, karena pemberian ASI bagi bayi yang membutuhkan ASI tersebut adalah bagian dari kebaikan antar umat manusia.
8. Boleh memberikan dan menerima imbalan jasa dalam pelaksanaan donor ASI, dengan catatan; (i) tidak untuk komersialisasi atau diperjualbelikan; dan (ii) ujrah (upah) diperoleh sebagai jasa pengasuhan anak, bukan sebagai bentuk jual beli ASI.
Kedua : Rekomendasi
1. Kementerian Kesehatan diminta untuk mengenluarkan aturan mengenai Donor ASI dengan berpedoman pada fatwa ini.
2. Pelaku, aktifis dan relawan yang bergerak di bidang donor ASI serta komunitas yang peduli pada upaya berbagi ASI agar dalam
Fatwa tentang Masalah-Masalah Terkait Dengan Berbagi Air Susu Ibu (Istirdla’) 7
menjalankan aktifitasnya senantiasa menjaga ketentuan agama dan berpedoman pada fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 4 Ramadhan 1434 H
13 J u l i 2013M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Kompilasi Hukum Islam

KOMPILASI HUKUM ISLAM *
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anaka
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau
iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang
dan lainnya.
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954.
* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh,
tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda
yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang
untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria
tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan
atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling
menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun
1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya
berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana
yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu
tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil
baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan
calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas
akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon
mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya
perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih
belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi
masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria
lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan
persoalannya
ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta
bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing
ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan
wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam
suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan
nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh
doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri
dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada
sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari
satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan
dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9,
pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan
tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan
ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya
perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan
tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas
isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria
tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang
No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut
dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.
BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang
masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan,
atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,
sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan
biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat
kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing
suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masingmasing
terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,
ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga
dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum
atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah
meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa
kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali
karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan
kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa,
berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian
atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,
pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan
sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan
lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1
tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang
ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila
yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan
antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan
kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa
iddah.
Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk
dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri,
menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci
dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata
“tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan
sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka
hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya
Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masingmasing
diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan
gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat
mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan
Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman
yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di
Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya
tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),
panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang
pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta
Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri
atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah
yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat
putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka
dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu
disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera
yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau
isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan
permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan
atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar
keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk,
dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan
Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan
sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama
memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas
isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah
dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al
dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3
(tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
gtersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,
Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena
menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,
akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah
talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak,
meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97
Bagian Keempat
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk
Bagian Keenam
Akibat Li`an
Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang
dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan
selain zina dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas
suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut
hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada
instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan
membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki
apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan
yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan
dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat
rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi,
sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat
keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab
hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya
kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami
dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang
ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil
Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan
Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang
bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor
dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX
MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa
iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
BUKU II
HUKUM KEWARISAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum di\ewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu,
janda atau duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian. *
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak
atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama
dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih
maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka
baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah :
ayah mendapat sepertiga bagfian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya
atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta
warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai
harganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1)
sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan
kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama
para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris
yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang
atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai
dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat
bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris
adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada
Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
BAB IV
AUL DAN RAD
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka
pembilang.
Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,
maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masingmasing
ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
BAB V
WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila
semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa
atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada
pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau
mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan
pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya
pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan
jangka waktu tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat
terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat
hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui,
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi,
maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang
membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah
dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris,
dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita
acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus
menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya
Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1)
pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan
Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara
dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan
musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri
oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang
yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan kepada orang yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut
di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.
BAB VI
HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di
hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan
Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal-pasal ini.
BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah
yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan
wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian
perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah
pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6),
yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya
2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan
pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah
sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini
tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab
yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan
maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat
(5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,
dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam
ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan
sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan
berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat.
BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan
menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai
berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan
pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan
(4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan
guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir
diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersamasama
oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan
agama yang mewilayahinya.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan
ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.
PENJELASAN
ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran
hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya
sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang
pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum
Perwakafan.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum
Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber
pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum
masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk
diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran
terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama,
fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku
Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan
Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama.
Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh
ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian
ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula
penipuan terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas
Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas
Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas
Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.
Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas
Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 130
Cukup jelas
Paal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas
Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.