KETIKA dalam sebuah acara Buya Hamka dan istri beliau diundang, mendadak
sang pembawa acara meminta istri Buya untuk naik panggung. Asumsinya, istri
seorang penceramah hebat pastilah pula sama hebatnya.
Naiklah sang istri, namun ia hanya bicara pendek. “Saya bukanlah
penceramah, saya hanyalah tukang masaknya sang Penceramah.” Lantas beliau pun
turun panggung.
Dan berikut adalah penuturan Irfan, putra Buya, yang menuturkan bagaimana
Buya sepeninggal istrinya atau Ummi Irfan.
“Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka lara sepeninggal
Ummi, baru aku mulai bisa menyimak. Bila sedang sendiri, Ayah selalu kudengar
bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar. Menyenandungkan ‘kaba’.
Jika tidak Ayah menghabiskan 5-6 jam hanya untuk membaca Al Quran.
Dalam kuatnya Ayah membaca Al Quran, suatu kali pernah aku tanyakan.
“Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?”tanyaku kepada ayah.
“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup
bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila
datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung.
Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera
mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah
berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata
kepada Allah,” jawab Ayah.
“Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanyaku lagi.
“Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada
Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab Ayah lagi.
[Ayah – Irfan Hamka (hal 212-213)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar